E-commerce tumbuh dan berkembang sangat pesat memberikan banyak peluang kepada para pelaku usaha di berbagai sektor baik manufaktur maupun jasa. Lalu lintas transaksi jual beli melalui e-commerce terus meningkat, menurut data Bank Indonesia pada tahun 2020  mencapai 266 trilyun rupiah dan diprediksi pada tahun 2021 dan 2022 masing-masing mencapai  403 trilyun dan 530 trilyun rupiah. Bagi UMKM e-commerce memberikan banyak keuntungan dan manfaat untuk tumbuh dan berkembang, e-commerce mampu memperluas pasar (Market Share) tidak hanya terbatas pada pemasaran lokal/domestik saja , akan tetapi mampu mencapai pasar global. Sehingga memunculkan trend baru dalam e-commerce yaitu cross border e-commerce.

 

Cross border e-commerce didefinisikan sebagai perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce dengan layanan pengiriman tujuan ke luar negeri dan sebaliknya.dapat juga diartikan sebagai perdagangan daring antara bisnis baik UKM atau brand dengan konsumen akhir (B2C), atau bisa juga antara dua entitas bisnis (B2B), bisa pula antara dua individu atau C2C. Dalam perdagangan cross border terjadi tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk  

 

Cross border e-commerce terus mengalir bak air. Diam-diam, dengan potensi e-commerce dengan momentum besar ketika media sosial berhasil memperkenalkan produk-produknya ke mata miliaran orang di seluruh dunia. Twitter, Instagram, dan Facebook mulai beralih fungsi, dari sebatas hanya media narsis, menjadi platform mujarab mengais rezeki. Siapa sangka, social commerce atau belanja lewat media sosial termasuk para jastip..

Brand atau pebinis kelas UKM yang tidak memliliki modal besar untuk melakukan ekspansi pasar, memanfaatkan media sosial itu untuk menggaet konsumen di luar wilayahnya. Kita bisa melihat feeds Instagram sekarang, mulai bermunculan iklan-iklan yang menawarkan produk fashion dan perawatan. Namun, setelah diklik ke halaman akun tersebut, ternyata mereka sebagian bukan berasal dari dalam negeri.

Kebanyakan mereka menjual produk sehari-hari yang lebih ringan, seperti makanan, fashion, dan produk perawatan tubuh.

 

Cross border e-commerce merupkan tren perdagangan online baru di mana konsumen lokal dapat berbelanja produk-produk asing yang tidak secara langsung dipasarkan di dalam negeri. Begitupun dengan konsumen dari negara lain yang bisa berbelanja produk di Indonesia, tanpa harus mengunjunginya.

Dengan 250 juta penduduk, Indonesia adalah target besar bagi para pemain e-commerce lain untuk memasarkan produknya di sini. Namun, pertanyaannya, mampukah kita menjual produk kita ke luar negeri melalui e-commerce ?

Para pemain e-commerce Indonesia diharapkan mampu mendorong cross border e-commerce, sehingga UMKM yang menjadi mitranya bisa menjual produknya ke luar negeri. Apabila nominal transaksinya besar, setidaknya ekspor produk dalam negeri meningkat. Jadi tidak hanya berfikir untuk menjual hanya untuk market Indonesia saja akan tetapi mampu mengoptimalkan pemanfaatan e-commerce untuk pasar global.

 

Namun demikian apakah UMKM sepenuhnya mendapatkan manfaat dan keuntungan cross border e-commerce tersebut ?. Ternyata tidak selamanya cross border e-coomerce memberikan manfaat dan keuntungan bagi UMKM. Sebagian menyatakan bahwa praktik cross border e-commerce disebut merugikan keberlangsungan UMKM lokal, hal ini karena pemain e-commerce asing menjual produk dengan harga sangat murah.


Dalam perdagangan cross border terjadi tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk. Hal ini tentu membuat UMKM lokal kalah saing sehingga muncullah istilah e-commerce domestik dan cross border.
Splitting tidak terjadi dalam layanan e-commerce domestik. Impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga ada kontribusi ke pendapatan dalam negara. Adapun praktik cross border e-commerce memungkinkan untuk melakukan splitting. Hal ini dikarenakan impor barang bisa langsung dilakukan dari penjual luar negeri yang bertransaksi dengan konsumen domestik sehingga transaksi sama sekali tidak berkontribusi ke pendapatan dalam negeri. Jika praktik cross border e-commerce tidak diregulasi secepatnya, maka akan merugikan banyak pihak. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross-border ilegal yang harganya jauh lebih murah.

 
Diperlukan peran aktif pemerintah untuk membuat kebijakan berupa regulasi impor barang melalui sektor perdagangan e-commerce sebagai bentuk keterpihakan pemerintah kepada UMKM.

 

Kebijkan pemerintah dalam rangka membendung cross border e-commerce untuk melindungi UMKM dari serbuan produk asing telah dilakukan dengan menurunkan ambang batas Bea Masuk (BM) barang kiriman yang telah diberlakukan sejak awal 2020 lalu, penurunan ambang batas bea masuk barang itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK/010/2019 yang menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS yang dikenakan pajak. Akan tetapi cukup mampu membendung membanjirnya produk asing. 

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved