Ada begitu banyak produk yang kita pakai setiap saat untuk memenuhi kebutuhan kita, adakalanya kita beralih dari satu brand ke brand yang lain karena alasan tertentu, sebagai contoh kita membeli handphone baru dengan berbagai fitur baru yang tidak kita jumpai pada handphone yang sebelumnya kita gunakan. Tentunya harga handphone baru tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan dengan handphone yang lama. Apa yang terjadi jika seorang pelanggan beralih dari satu brand ke brand lain? Otomatis, ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan tersebut. Dalam dunia marketing, biaya itu adalah switching cost. Biasanya, biaya ini ditetapkan setelah produsen melakukan pengembangan produk atas masukan dari pelanggan. Jadi, switching cost ditetapkan sebagai kompensasi atas fitur-fitur baru yang diberikan kepada produk tersebut. Sekilas tentang Switching Cost Seperti yang telah disebutkan, switching cost adalah biaya yang dikeluarkan pelanggan sebagai akibat dari perubahan merek, pemasok, atau produk. Biaya ini umumnya bersifat moneter. Namun, ada juga switching cost berbasis psikologis, usaha, bahkan waktu. Contohnya, kamu selama ini membayar sebesar Rp. 200 ribu untuk paket internet selama satu bulan. Kemudian, kamu menemukan provider lain menawarkan paket internet dengan fitur yang lebih lengkap dengan harga Rp. 250 ribu. Artinya, kamu akan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 50 ribu jika berganti provider. Biaya yang dikeluarkan inilah yang disebut sebagai switching cost. Tentunya, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan ketika menetapkan switching cost. · waktu yang dibutuhkan pelanggan untuk berganti produk · apakah fitur baru yang ditawarkan produk lebih baik dari kompetitor · usaha atau tenaga yang harus dikeluarkan pelanggan untuk berganti produk Produsen yang sukses biasanya mencoba menerapkan strategi yang menimbulkan switching cost yang tinggi pada pelanggan untuk mencegah mereka beralih ke produk, merek, atau layanan milik kompetitor. Jika produsen tersebut berhasil menerapkan strateginya, mereka bisa menaikkan harga setiap tahun tanpa khawatir pelanggan akan menemukan alternatif yang lebih baik dengan karakteristik serupa atau pada titik harga yang sama. Tipe-Tipe Switching Cost Switching cost bisa “tinggi” atau “rendah”. Semakin tinggi biaya peralihan, semakin kecil kemungkinan seseorang ingin berganti merek, produk, layanan, atau pemasok. Bagi pelanggan, semakin tinggi biayanya, semakin sedikit nilai yang diperoleh konsumen dari peralihan ke merek, produk, layanan, atau pemasok lain.
1. Low switching cost Produsen yang menawarkan produk atau layanan yang sangat mudah ditiru dengan harga yang sebanding oleh kompetitor biasanya memiliki switching cost yang rendah. Contoh dari produsen yang memiliki low switching cost adalah produsen pakaian.Pelanggan dapat dengan mudah menemukan penawaran pakaian dan membandingkan harga dengan berjalan kaki dari satu toko ke toko lainnya. Oleh karena itu, produsen menetapkan switching cost yang rendah akibat tingginya persaingan pasar. 2. High switching cost Switching cost yang tinggi biasanya diterapkan pada produsen produk atau layanan dengan kompetisi pasar yang rendah. Salah satu contoh dari high switching cost adalah biaya langganan yang diterapkan oleh penyedia software. Sebagian besar penyedia software memberikan fungsi dan manfaat tambahan yang sulit didapatkan dari kompetitor. Sehingga, mereka bisa menetapkan switching cost yang tinggi karena rendahnya kemungkinan pelanggan beralih ke kompetitor. Strategi Penerapan Switching Cost Jika produsen mampu membuat pelanggan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk produknya, hal tersebut dianggap sebagai keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Ada sejumlah strategi yang digunakan oleh produsen untuk meningkatkan switching cost yang dikeluarkan oleh pelanggan. Berikut beberapa contoh strateginya. 1. Kenyamanan Salah satu strategi penerapan switching cost adalah dengan mengutamakan kenyamanan. Sebuah produsen mungkin memiliki banyak lokasi toko atau produknya. Sehingga, dapat memudahkan pelanggan untuk membeli produknya meski harganya cukup tinggi. Jika kompetitor memiliki produk yang lebih murah namun lebih sulit dijangkau, pelanggan akan cenderung memilih untuk tetap menggunakan produk dengan biaya lebih tinggi karena kenyamanannya. 2. Kedekatan emosional Kedekatan emosional adalah salah satu strategi penerapan switching cost yang paling sering digunakan. Kebanyakan, produsen yang menerapkan strategi ini telah memiliki brand loyalty yang cukup kuat. Sehingga, pelanggan menganggap tenaga dan usaha yang harus dikeluarkan untuk berganti produk cukup mahal. Akibatnya, pelanggan memilih untuk tetap menggunakan produk atau layanan dari produsen tersebut meskipun harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal ketimbang mengeluarkan waktu dan usaha untuk beralih ke kompetitor. 3. Biaya pembatalan Selain kedekatan emosional, biaya pembatalan adalah salah satu strategi switching cost yang sering diterapkan. Biaya ini diterapkan agar pelanggan berpikir dua kali sebelum berhenti menggunakan layanan atau produk. Produsen dapat mengklasifikasikan biaya ini sesuai pilihan mereka, termasuk biaya administrasi untuk menutup akun. Selain tiga strategi di atas, switching cost juga dapat diterapkan dalam bentuk biaya instalasi produk, biaya peralatan tambahan, hingga biaya belajar. Switching cost mungkin terasa memberatkan bagi pelanggan ketika ingin beralih ke kompetitor. Oleh karena itu, sebagai produsen kamu perlu mempertimbangkan strategi yang tepat agar pelanggan tetap loyal pada produkmu.
Menurutmu, strategi switching
cost seperti apa yang efektif bila diterapkan pada produk atau layanan
tertentu? |